Suatu hari, saya pernah ditanya, “ngapain jauh-jauh sekolah ke Norwegia?” Berhubung saya tidak seberuntung mereka yang mendapatkan beasiswa, maka jawaban saya tidak pernah semudah itu dengan orang-orang yang mendapatkan beasiswa dan bisa merasakan pendidikan dengan dukungan materi.
Ketika berpikir untuk menjawab dengan alasan demi masa depan, jelas itu merupakan jawaban yang mungkin semua orang pun berpikiran yang sama. Apa yang kita lakukan sekarang mungkin juga untuk bekal masa depan, tapi tidak begitu dengan mereka yang tidak memikirkan untuk masa depannya (ini kalimat yang berulang namun bisa dicerna lebih dalam lagi).
Setelah menyelesaikan studi dan kembali bekerja (dan beruntung saya bisa melanjutkan bekerja di negara ini), saya mulai menyadari bahwa alasan yang paling mendasar sebenarnya adalah karena rasa penasaran yang ada pada diri saya. Rasa keingintahuan. Walaupun naif rasanya apabila tidak mengharapkan untuk mendapatkan timbal balik yang sepandan dibalik rasa keingintahuan itu. Akan tetapi, rasa penasaran atau keingintahuan ini merupakan bagian dari sifat manusia yang tidak bisa hilang dengan mudah begitu saja. Mungkin mereka yang cuek atau tidak peduli dengan ini, akan dengan mudah melupakannya.
Jika dipikir-pikir kembali, rasa penasaran atau curiousity ini bisa menjadi cikal bakal dari studi atau research yang mendorong manusia untuk berpikir. Sebagai contoh, ketika seorang anak kecil bertanya kepada orang tuanya, kenapa bola basket yang dilempar ke atas pasti jatuh lagi ke bawah? Maka dengan mudahnya kita bisa jelaskan bahwa ada gaya grativasi di situ. Gaya gravitasi pun diteliti dan ditemukan oleh ilmuwan jaman dahulu, Sir Isaac Newton, pada tahun 1687. Sebelum gaya ini ditemukan, gaya tersebut sebenarnya sudah ada dan eksis di bumi ini. Hanya saja, belum diformulasikan dengan baik. Manusia, yang hidup di bumi ini, memiliki kemampuan untuk mencari tahu hal-hal di bumi ini yang belum diketahui, karena memiliki otak untuk berpikir. Rasa penasaran atau keingintahuan ini merupakan ‘percikan’ yang bisa menyulut ‘api’ studi atau research untuk membuat kehidupan ini lebih baik lagi.
Pertanyaan mendasar ‘kenapa’ yang dilontarkan oleh seorang anak kecil konon menurut studi memberikan sinyal bahwa si anak memiliki otak yang cerdas karena rasa keingintahuan yang besar. Di sini saja kita bisa melihat, bahwa dengan level of curiosity yang tinggi, seorang anak yang otaknya belum terkontaminasi macam-macam bisa tumbuh menjadi anak yang cerdas atau boleh dikatakan di atas rata-rata kecerdasan anak pada umumnya. Bagaimana dengan manusia dewasa, yang pertumbuhan otaknya telah matang, namun disertai dengan rasa tingkat penasaran yang tinggi? Seharusnya menjadi manusia yang ‘luar biasa’ ya? 🙂
Sayangnya, manusia memang pada hakekatnya memiliki sifat yang tidak pernah terpuaskan. Mereka yang haus akan rasa penasaran akan terus mencari dan mencari. Pun tidak selalu membawa kebaikan untuk orang banyak, karena rasa yang tidak terpuaskan tadi selalu ada di dalam setiap benak manusia. Dan ketika rasa ini disandingkan dengan materi dunia, maka tidak ada lagi yang namanya kebaikan untuk dunia, karena faktanya, materi dengan kecerdasan tingkat tinggi tidak mudah membawa kebaikan untuk orang banyak. Saya selalu menyukai quote dari sebuah film superhero di layar lebar yang mengatakan, “with great power comes great responsibility”. I believe high level of curiosity is among this definiton of power, if they managed to use it responsibly. Just my two cents.